Sunday, January 1, 2017

Catatan dari Bedah Buku Inspirasi Bunda

Ketika mendapat undangan acara bedah buku INSPIRASI BUNDA pada tanggal 22 Desember di Graha Pena, saya menyambutnya dengan antusias karena sudah lama tidak menghadiri acara bedah buku. Terlebih saat membaca nama-nama yang menjadi nara sumbernya.



Sri Rahmi
Tertera nama para nara sumber yang membedah buku Inspirasi Bunda adalah: Sakkapati (akademisi), Husaema Husain (LSM), Faisal Syam (Pemred harian Fajar), Susi Smitha Pattisahusiwa (aktivis perempuan), dan moderator: Fadiah Machmud (ketua P2TP2A propinsi).

Dari gambar sampul buku yang saya dapatkan, tertera nama Hj. Sri Rahmi. Nama itu tertera di bagian yang biasanya di situ tertera nama penulis buku. Makanya pada mulanya saya mengira buku Inspirasi Bunda ditulis olehnya.

Saat hadir di dalam ruangan tempat acara berlangsung, di lantai 4 gedung Graha Pena, baru saya ketahui bahwa yang menulis buku bukanlah Sri Rahmi yang namanya tertera di sampul buku itu. Penulisnya adalah Faisal Syam, seorang jurnalis di harian Fajar. Sri Rahmi adalah sosok yang menjadi “tokoh sentral” buku Inspirasi Bunda karena buku ini memuat tulisan-tulisan tentang Sri Rahmi dan tulisan-tulisan yang dibuat olehnya.

Saya masuk ke dalam ruangan ketika acara sudah mulai beberapa saat. Ruangan sudah hampir penuh oleh hadirin. Tak banyak lagi kursi kosong. Saya beruntung masih mendapatkan kursi kosong di meja kedua dari depan, di sisi kiri ruangan. Beruntung juga saya masih mendapatkan kotak berisi snack plus air minum, dan buku Inspirasi Bunda. Beberapa kawan dari IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis) Makassar tak memperoleh salah satu atau keduanya. Sepertinya peserta bedah buku ini membludak. Urutan nama di daftar presensi memang menentukan. Siapa cepat, dia dapat!

Faisal Syam, Fadiah Machmud, Susi Smitha, dan Sakkapati
Amir Jaya
Menariknya, sebelum acara pokok berlangsung, Amir Jaya tampil membawakan puisi berjudul Engkau Rembulan. Puisinya cocok dengan peringatan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember ini. Tak kalah menariknya, Fadiah Machmud membuka acara pokok dengan menyampaikan data dari Unesco bahwa dari 1.000 anak Indonesia, hanya 1 anak yang bisa membaca lantas menceritakan kembali apa yang dibacanya. Satu lagi data dari Unesco bahwa buku yang terbit di Indonesia sedikit sekali. Sembilan judul buku untuk satu juta penduduk Indonesia.

Kata Anies Baswedan, Indonesia “darurat pendidikan” karena dengan demikian dianggap statusnya “0 buku”. Anies mensinyalir ada 3 problem terkait hal ini: minat baca rendah, perpustakaan tidak dikelola dengan semenarik mungkin, dan keteladanan yang kurang.

Membuka bedah buku dengan pertanyaan: mengapa memilih Pak Faisal Syam yang nota bene seorang lelaki sebagai penulis buku, Sri Rahmi menjawab justru karena laki-laki, Faisal Syam bisa menjadi pengimbang, jika mungkin ada blank spot dari pikirannya. Dan Sri Rahmi mengaku nge-fans sama I Love Monday, rubrik yang diasuh Faisal di harian Fajar.

Saat ditanya pendapatnya, Susi Smitha menceritakan mengenai sosok Sri Rahmi sebagai seseorang “yang sangat bersemangat”, suka mencatat apa saja yang terlintas, dan kritis. “Ingin menyampaikan realita di balik idealita,” tutur Susi.


Ketika tiba giliran Sakkapati, saya berharap akan mendengarkan penuturan mengenai kaitan isi buku dengan bidang keilmuannya (ilmu Hukum) namun ternyata tidak. Apa yang disampaikannya lebih kepada hubungan logis antar bagian/paragraf di dalam buku. Ada kritik dan masukan. Kesimpulannya, “Buku ini merupakan karya komprehensif. Sehingga baik penulisnya maupun yang diceritakan sudah paripurna.”

Berbeda dengan Ema Husain. Dengan blak-blakan ia mengatakan, “Tidak terlihat sosok Sri Rahmi di buku ini. Oke, secara dokumen, buku ini menginspirasi. Tapi secara isi, belum bisa dijadikan bahan advokasi. Mohon maaf, saya orang pergerakan, saya harus mengatakan ini.”

Ema mengatakan bahwa ia paham benar bagaimana perjuangan Sri Rahmi menegakkan Perda (Peraturan Daerah) KTR (Kawasan Tanpa Rokok) karena ia juga mengawal Perda yang bersangkutan. Ada banyak pertentangan saat itu hingga gebrak-gebrak meja dan tangis. Bukan perjuangan yang mudah. Sangat disayangkan yang masuk di dalam tulisan kurang greget-nya. Ema mengistilahkannya dengan “tidak bisa ‘orgasme’ membaca buku ini”. Saya sependapat. Justru proses memperjuangkannya tidak diceritakan di dalam buku itu padahal sisi inspiratif bisa digali dari penulisan perjuangan menegakkan kebenaran secara detail.

Saat moderator memberi kesempatan kedua kepada hadirin, saya mengangkat tangan. Saya ingin menyatakan kesamaan pendapat saya dengan Ema Husain. Sayangnya, moderator tak melihat tangan saya yang teracung. Mungkin karena saya duduknya nyaris di salah satu bagian paling ujung di dalam ruangan itu.

Fadiah Machmud, Susi Smitha, Sakkapati, dan Ema Husain
Untungnya saya rutin menulis di blog. Tak mengapa bila tak mendapatkan giliran di dalam ruangan. Saya punya ruang tersendiri untuk mengungkapkan isi pikiran dan isi hati saya. Di blog inilah salah satunya.

Nah, saya ingin menyampaikan 3 hal mengenai buku Inspirasi Bunda ini:

1. Apresiasi

Saya sangat mengapresiasi politisi – apalagi politisi perempuan yang menulis. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Sri Rahmi yang dikumpulkan oleh Faisal Syam. Salah satu cara ampuh mendekat kepada konstituen dan rakyat Sulawesi Selatan pada umumnya adalah melalui tulisan. Tulisan bisa berbicara banyak kepada siapa pun tanpa Sri Rahmi perlu berada di dekat orang yang membacanya. Selain itu, melalui tulisan jugalah kebaikan bisa tersebar meluas, menembus batas ruang dan waktu.

2.  Kritik

Saya melihat buku ini masih prematur. Andai memberinya waktu lebih lama lagi, banyak hal yang masih bisa dibenahi. Perlu meriset lebih dalam lagi mengenai apa saja kriteria kisah inspiratif. Meminjam istilah “orgasme” yang dipakai Ema, sebuah buku memang sebaiknya bisa memberikan kepuasan kepada pembacanya. Kalau tidak puas, belum tentu orang mau membaca buku-buku berikutnya. Banyak naskah di dalam buku ini yang masih terlihat tanggung. Belum sempat memberikan sesuatu kepada pembaca, tahu-tahu sudah selesai. Contohnya pada tulisan tentang KTR yang hanya mengutip media. Sisi seorang Sri Rahmi tak terungkap sepenuhnya di situ. Jika dituliskan dengan lebih detail, bukan tidak mungkin, harapan Ema agar bisa menjadikannya bahan untuk advokasi terpenuhi. Juga bisa menjadi contoh bagi para legislator perempuan khususnya untuk berjuang demi kepentingan rakyat. Supaya mereka siap dengan berbagai kemungkinan dan rintangan yang menghadang, dan tidak mudah menyerah.

3.  Saran

Saya berharap, untuk buku-buku berikutnya kelak, ada proof reader bukunya. Tetapkan orang-orang yang tepat yang akan membaca buku Anda sebelum terbit dan dengarkan apa pendapat mereka. Saran saya, orang seperti Bu Ema cocok menjadi proof reader bagi Bu Sri Rahmi karena mengenal sosok Sri Rahmi dan memahami perjuangannya sebagai anggota DPRD provinsi.


Foto bersama dengan beberapa teman IIDN Makassar, pak Faisal (belakang,
memegang buku), Bu Sri Rahmi (jilbab hijau), Bu Ema Husain (berbaju hijau muda),
dan Bu Fadiah Mochtar (jilbab abu-abu)
Tak ada maksud saya selain berharap agar ke depannya lahir buku-buku yang dikemas dengan lebih baik lagi. Semoga setelah ini menulis bisa menjadi kebiasaan di kalangan para legislator sehingga rakyat bisa menentukan pilihan mereka di antaranya melalui tulisan-tulisan yang beredar luas.

Makassar, 2 Januari 2017

Simak tulisan-tulisan saya di blog yang satunya:

4 comments:

  1. Wah, buku yang sangat bermanfaat buat para Bunda ya? Di mana belinya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seingat saya, bukunya tidak diperjualbelikan, Mbak Nisa. Waktu acara tempo hari disampaikan. Karena diterbitkan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah maka buku ini tidak diperjualbelikan.

      Delete
  2. Replies
    1. Mudah-mudahan nanti ada edisi yang dijual bebas, Mbak :)

      Delete