Ketika
mendapat undangan acara bedah buku INSPIRASI BUNDA pada tanggal 22 Desember di
Graha Pena, saya menyambutnya dengan antusias karena sudah lama tidak
menghadiri acara bedah buku. Terlebih saat membaca nama-nama yang menjadi nara
sumbernya.
Sri Rahmi |
Tertera
nama para nara sumber yang membedah buku Inspirasi Bunda adalah: Sakkapati (akademisi),
Husaema Husain (LSM), Faisal Syam (Pemred harian Fajar), Susi Smitha
Pattisahusiwa (aktivis perempuan), dan moderator: Fadiah Machmud (ketua P2TP2A
propinsi).
Dari
gambar sampul buku yang saya dapatkan, tertera nama Hj. Sri Rahmi. Nama itu
tertera di bagian yang biasanya di situ tertera nama penulis buku. Makanya pada
mulanya saya mengira buku Inspirasi Bunda ditulis olehnya.
Saat
hadir di dalam ruangan tempat acara berlangsung, di lantai 4 gedung Graha Pena,
baru saya ketahui bahwa yang menulis buku bukanlah Sri Rahmi yang namanya
tertera di sampul buku itu. Penulisnya adalah Faisal Syam, seorang jurnalis di
harian Fajar. Sri Rahmi adalah sosok yang menjadi “tokoh sentral” buku
Inspirasi Bunda karena buku ini memuat tulisan-tulisan tentang Sri Rahmi dan tulisan-tulisan
yang dibuat olehnya.
Saya
masuk ke dalam ruangan ketika acara sudah mulai beberapa saat. Ruangan sudah
hampir penuh oleh hadirin. Tak banyak lagi kursi kosong. Saya beruntung masih
mendapatkan kursi kosong di meja kedua dari depan, di sisi kiri ruangan.
Beruntung juga saya masih mendapatkan kotak berisi snack plus air minum, dan buku Inspirasi Bunda. Beberapa kawan dari
IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis) Makassar tak memperoleh salah satu atau keduanya.
Sepertinya peserta bedah buku ini membludak. Urutan nama di daftar presensi
memang menentukan. Siapa cepat, dia dapat!
Faisal Syam, Fadiah Machmud, Susi Smitha, dan Sakkapati |
Amir Jaya |
Menariknya,
sebelum acara pokok berlangsung, Amir Jaya tampil membawakan puisi berjudul
Engkau Rembulan. Puisinya cocok dengan peringatan Hari Ibu pada tanggal 22
Desember ini. Tak kalah menariknya, Fadiah Machmud membuka acara pokok dengan
menyampaikan data dari Unesco bahwa dari 1.000 anak Indonesia, hanya 1 anak
yang bisa membaca lantas menceritakan kembali apa yang dibacanya. Satu lagi
data dari Unesco bahwa buku yang terbit di Indonesia sedikit sekali. Sembilan
judul buku untuk satu juta penduduk Indonesia.
Kata
Anies Baswedan, Indonesia “darurat pendidikan” karena dengan demikian dianggap
statusnya “0 buku”. Anies mensinyalir ada 3 problem terkait hal ini: minat baca
rendah, perpustakaan tidak dikelola dengan semenarik mungkin, dan keteladanan
yang kurang.
Membuka
bedah buku dengan pertanyaan: mengapa memilih Pak Faisal Syam yang nota bene seorang
lelaki sebagai penulis buku, Sri Rahmi menjawab justru karena laki-laki, Faisal
Syam bisa menjadi pengimbang, jika mungkin ada blank spot dari pikirannya. Dan Sri Rahmi mengaku nge-fans sama I Love Monday, rubrik yang
diasuh Faisal di harian Fajar.
Saat
ditanya pendapatnya, Susi Smitha menceritakan mengenai sosok Sri Rahmi sebagai
seseorang “yang sangat bersemangat”, suka mencatat apa saja yang terlintas, dan
kritis. “Ingin menyampaikan realita di balik idealita,” tutur Susi.
Ketika
tiba giliran Sakkapati, saya berharap akan mendengarkan penuturan mengenai
kaitan isi buku dengan bidang keilmuannya (ilmu Hukum) namun ternyata tidak.
Apa yang disampaikannya lebih kepada hubungan logis antar bagian/paragraf di
dalam buku. Ada kritik dan masukan. Kesimpulannya, “Buku ini merupakan karya
komprehensif. Sehingga baik penulisnya maupun yang diceritakan sudah
paripurna.”
Berbeda
dengan Ema Husain. Dengan blak-blakan ia mengatakan, “Tidak terlihat sosok Sri
Rahmi di buku ini. Oke, secara dokumen, buku ini menginspirasi. Tapi secara
isi, belum bisa dijadikan bahan advokasi. Mohon maaf, saya orang pergerakan,
saya harus mengatakan ini.”
Ema
mengatakan bahwa ia paham benar bagaimana perjuangan Sri Rahmi menegakkan Perda
(Peraturan Daerah) KTR (Kawasan Tanpa Rokok) karena ia juga mengawal Perda yang
bersangkutan. Ada banyak pertentangan saat itu hingga gebrak-gebrak meja dan
tangis. Bukan perjuangan yang mudah. Sangat disayangkan yang masuk di dalam
tulisan kurang greget-nya. Ema
mengistilahkannya dengan “tidak bisa ‘orgasme’ membaca buku ini”. Saya sependapat.
Justru proses memperjuangkannya tidak diceritakan di dalam buku itu padahal
sisi inspiratif bisa digali dari penulisan perjuangan menegakkan kebenaran
secara detail.
Saat
moderator memberi kesempatan kedua kepada hadirin, saya mengangkat tangan. Saya
ingin menyatakan kesamaan pendapat saya dengan Ema Husain. Sayangnya, moderator
tak melihat tangan saya yang teracung. Mungkin karena saya duduknya nyaris di salah
satu bagian paling ujung di dalam ruangan itu.
Fadiah Machmud, Susi Smitha, Sakkapati, dan Ema Husain |
Untungnya
saya rutin menulis di blog. Tak mengapa bila tak mendapatkan giliran di dalam
ruangan. Saya punya ruang tersendiri untuk mengungkapkan isi pikiran dan isi
hati saya. Di blog inilah salah satunya.
Nah,
saya ingin menyampaikan 3 hal mengenai buku Inspirasi Bunda ini:
1. Apresiasi
Saya
sangat mengapresiasi politisi – apalagi politisi perempuan yang menulis. Buku
ini merupakan kumpulan tulisan Sri Rahmi yang dikumpulkan oleh Faisal Syam. Salah
satu cara ampuh mendekat kepada konstituen dan rakyat Sulawesi Selatan pada
umumnya adalah melalui tulisan. Tulisan bisa berbicara banyak kepada siapa pun
tanpa Sri Rahmi perlu berada di dekat orang yang membacanya. Selain itu, melalui
tulisan jugalah kebaikan bisa tersebar meluas, menembus batas ruang dan waktu.
2. Kritik
Saya
melihat buku ini masih prematur. Andai memberinya waktu lebih lama lagi, banyak
hal yang masih bisa dibenahi. Perlu meriset lebih dalam lagi mengenai apa saja kriteria
kisah inspiratif. Meminjam istilah “orgasme” yang dipakai Ema, sebuah buku memang
sebaiknya bisa memberikan kepuasan kepada pembacanya. Kalau tidak puas, belum
tentu orang mau membaca buku-buku berikutnya. Banyak naskah di dalam buku ini
yang masih terlihat tanggung. Belum sempat memberikan sesuatu kepada pembaca,
tahu-tahu sudah selesai. Contohnya pada tulisan tentang KTR yang hanya mengutip
media. Sisi seorang Sri Rahmi tak terungkap sepenuhnya di situ. Jika dituliskan
dengan lebih detail, bukan tidak mungkin, harapan Ema agar bisa menjadikannya
bahan untuk advokasi terpenuhi. Juga bisa menjadi contoh bagi para legislator
perempuan khususnya untuk berjuang demi kepentingan rakyat. Supaya mereka siap
dengan berbagai kemungkinan dan rintangan yang menghadang, dan tidak mudah
menyerah.
3. Saran
Saya
berharap, untuk buku-buku berikutnya kelak, ada proof reader bukunya. Tetapkan orang-orang yang tepat yang akan
membaca buku Anda sebelum terbit dan dengarkan apa pendapat mereka. Saran saya,
orang seperti Bu Ema cocok menjadi proof
reader bagi Bu Sri Rahmi karena mengenal sosok Sri Rahmi dan memahami
perjuangannya sebagai anggota DPRD provinsi.
Foto bersama dengan beberapa teman IIDN Makassar, pak Faisal (belakang, memegang buku), Bu Sri Rahmi (jilbab hijau), Bu Ema Husain (berbaju hijau muda), dan Bu Fadiah Mochtar (jilbab abu-abu) |
Makassar, 2 Januari 2017
Simak
tulisan-tulisan saya di blog yang satunya:
- [Opini Harian Fajar] Manfaatkan Internet Mari Menembus Batas
- Pengajuan KPR Secara Online, Mengapa Tidak?
- Semaraknya Community Event di Regus Makassar
Wah, buku yang sangat bermanfaat buat para Bunda ya? Di mana belinya?
ReplyDeleteSeingat saya, bukunya tidak diperjualbelikan, Mbak Nisa. Waktu acara tempo hari disampaikan. Karena diterbitkan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah maka buku ini tidak diperjualbelikan.
Deleteduh jadi pengen beli buku itu
ReplyDeleteMudah-mudahan nanti ada edisi yang dijual bebas, Mbak :)
Delete