Beberapa
ide kemudian menjadi aksi, di antaranya adalah memenuhi permintaan akan sayuran
segar hingga berkembang menjadi gerakan menanam sayuran di pekarangan dan mengumpulkan
tulisan (cerita anak) untuk dimanfaatkan menjadi bahan bercerita guna melepas trauma
anak-anak terdampak gempa.
Saat itu
saya membantu membagikan informasi di Facebook dan mention teman-teman
penulis cerita anak. Sejumlah tulisan terkumpul dari berbagai penjuru. Ide ini
bersambut dengan niat tulus dari beberapa pihak, termasuk Ikatan Alumni Mahasiswa
Australia (IKAMA) chapter Sulawesi Selatan untuk mewujudkan buku MEMETIK
KEBERANIAN.
“Saya
pengen buku ini (untuk) semua anak di dunia. Jadi, buku ini nanti akan
begulir. Kalau ada yang ingin mencetak buku ini atau membiayai percetakannya, silakan,”
ujar Kak Muhary pada Diskusi Buku Memetik Keberanian tanggal 15 silam.
Disampaikan pula pada diskusi yang berlangsung di kantor Yayasan BaKTI itu bahwa sudah ada orang yang siap membantu menerjemahkan kalau buku MEMETIK KEBERANIAN akan dibuat edisi bahasa Inggrisnya.
Disampaikan pula pada diskusi yang berlangsung di kantor Yayasan BaKTI itu bahwa sudah ada orang yang siap membantu menerjemahkan kalau buku MEMETIK KEBERANIAN akan dibuat edisi bahasa Inggrisnya.
Belajar dari Bencana
Mbak
Nana Saleh dari IKAMA menceritakan pengalaman dirinya dan orang-orang dekatnya ketika menghadapi
gempa di luar negeri. Begitu canggihnya sistem peringatan dan penanggulangan
gempa di luar negeri. Masyarakat di luar negeri terlatih mempersiapkan keadaan darurat
bencana.
Menurut
Mbak Nana, pertanyaan yang harus kita jawab adalah “apa yang kita pelajari dari gempa?” Di negara-negara maju, keteraturan
tak lepas dari kebiasaan warganya. Mereka tetap antre dan membeli sesuai
kebutuhan. Bukannya meraup sebanyak-banyaknya barang meskipun berduit.
“Pesan moralnya adalah: dalam
keadaan darurat jadilah manusia
yang bermartabat. Inilah pentingnya
kita mengadvokasi sebagai civil society,”
ujar Mbak Nana dilanjutkan dengan penegasan
bahwa kita bisa melakukannya.
Yang Dibutuhkan Saat Bencana
Kak Muhary (pegang mic) |
Menarik
menyimak benang merah dari Mbak Nana ke Pak M. Ghufan H. Kordi K yang terbiasa dalam kerja-kerja di daerah bencana. Berdasarkan
pengalamannya, aktivis perlindungan anak jika ke daerah yang terdampak bencana,
mengidentifikasi kebutuhan seperti popok atau susu.
Sementara
aktivis perempuan mengidentifikasi pakaian dalam perempuan atau pembalut. Hal-hal
khusus seperti ini tidak diperhatikan dalam pandangan negara ketika situasi
darurat. Makanya sering kita temui, penggalangan bantuan diinisiasi oleh
kelompok yang peduli akan hal ini.
Di
banyak tempat dan banyak situasi, bantuan pakaian layak pakai kebanyakan
merupakan pakaian orang dewasa. Sering ditemukan sumbangan daster yang begitu
besar jumlahnya sementara pakaian anak-anak hanya sedikit.
Salah seorang donatur |
Sebenarnya
dalam Konvensi Hak Anak ada aturan yang bisa dirujuk untuk anak-anak terdampak
bencara. Sayang sekali negara kita tidak pernah membuat aturan untuk itu.
Negara kita hanya meratifikasi Konvensi Hak Anak tanpa menurunkannya ke dalam
bentuk peraturan tersendiri.
Ironis
sebenarnya karena sejak “zaman purba”, negeri kita ini sudah mengalami bencana
alam tetapi tidak pernah mengeluarkan aturan terkait korban bencana. Bagaimana mau
memperhatikan apakah ada warga dalam kondisi tertentu yang memiliki kebutuhan
tertentu?
Seakan
lupa pernah mengalami masa kanak-kanak, cara pandang kita dalam melihat sesuatu
hanya melihat manusia itu ada laki-laki dan perempuan dewasa. Sehingga ketika
membuat kebijakan, tidak memperhatikan anak-anak, lansia (lanjut usia), dan
difabel.
Mbak Nana, Pak Alwy, Pak Ghufran |
Ketika
membangun tempat penampungan sementara untuk korban bencana misalnya, kebutuhan
khusus perempuan, anak-anak, lansia, dan difabel tidak diperhatikan. Jumlah
toilet laki-laki dan perempuan sama padahal perempuan lebih lama berada di
dalam toilet sehingga waktu antre perempuan jadinya lebih panjang.
“Hal-hal sehubungan dengan psikososial
usai bencana memang tidak terperhatikan
oleh pemeritah. Inilah yang harus
diambil alih oleh kita-kita. Kalau tidak, mungkin
tidak pernah akan dilakukan,” ujar Pak Ghufran.
Panggung Bagi Anak-anak
Pak
Alwy Rachman – pembicara favorit saya, yang
kondang di Makassar sebagai budayawan, sastrawan, penulis, dan teman diskusi aktivis tampil sebagai pembicara terakhir.
Seperti biasa, ada tulisan hasil olah pikir yang dipersiapkannya dan dibagikan
kepada para peserta diskusi.
Di negeri sendiri, drama anak-anak bukan di panggung perang, bukan pula di panggung kelaparan. Anak-anak negeri sendiri muncul di panggung bencana. Perang, kelaparan dan bencana, dengan demikian, menjadi hilir bagi masalah anak-anak. Di hulu, hak anak tak dipercakapkan dengan dalam, tak diperhitungkan secara rinci dalam kebijakan publik.
Kutipan tersebut ada dalam tulisan Pak
Alwy Rachman berjudul Anak-anak di Ragam Panggung, untuk pengantar diskusi ini.
Pak
Alwy juga menyampaikan bahwa dalam satu pengantar pracitra Children’s
Rights, dipublikasi pada tahun 2016, Mhairi Cowden menulis tentang “apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan hak, dan dengan alasan apa anak-anak dianggap
layak memilikinya”.
Pada
mulanya, Mhairi Cowden menganggap pertanyaan seperti ini tak lebih dari soal
moral dan filsafat. Tak sukar
menjawabnya. Tapi, dalam proses menuliskan “kertas posisi” untuk UNICEF, Mhairi
Cowden segera menyadari ketiadaan konsensus terhadap hak anak. Retorika untuk
mengadvokasi hak anak pun menjadi hampa akibat ketiadaan dasar-dasar teoretik
tentang hak anak.
Yang
disampaikan oleh Pak Alwy senada dengan yang disampaikan oleh Pak Ghufran,
yaitu bahwa anak-anak pada kenyataannya merupakan warga negara kelas dua.
Hampir
semua kebijakan publik kita tidak mewadahi kepentingan anak-anak. Kita tak
punya scientific temper (Pak Alwy meminjam istilah Mbak Nana) yang
mendalam terhadap anak-anak. “Kita tidak mengandalkan hidden curiculum dalam
desain program sekolah lalu kita teriak-teriak tentang pendidikan karakter. Padahal
sekolah kita dibangun oleh tukang batu. Bukan arsitek yang bekerja sama dengan
ahli pendidikan,” Pak Alwy memberikan gambaran.
Entah
mengapa bangsa kita kini menjadi bangsa yang reaktif ketimbang responsif. “Reaktif
itu sekadar bereaksi lalu selesai. Kalau responsif itu memang dia merespon, dia
berpikir dalam. Itu makanya dalam bahasa Inggris responsibility adalah
pertanggungjawaban,” ungkapnya lagi.
Foto: dari akun FB Muhary Wahyu Nurba
Selalu
saja Pak Alwy mengajak hadirin untuk merenung dan menelaah. Apa yang
disampaikan oleh ketiga nara sumber saling berkaitan dan pada pokoknya menerima
dengan tangan terbuka hadirnya buku MEMETIK KEBERANIAN. Namun demikian, akan
lebih menarik jika saya kutipkan tanggapan khusus Pak Alwy mengenai buku yang
memuat cerita dari 28 penulis inim sebagai berikut:
“Memetik Keberanian”, kumpulan cerita yang didedikasikan untuk
anak-anak terdampak Bencana Palu, ditulis dengan jenjang keterbacaan (readability) tinggi. Kalimat-kalimat
sederhana, diksi keseharian, dan alur imajinatif yang
berkesesuaian dengan kapasitas kognitif anak-anak. Satu-satunya yang agak
hilang dalam ragam kisah ini adalah karakter “onomatopoeia”, yaitu
karakter diksi yang terbentuk oleh bunyi-bunyi yang diasosiasikan dengan aktor
yang dimaksud, terutama kisah yang aktornya menumpang pada animasi. Bunyi
“desis” untuk ular, bunyi “cicit” untuk tikus, misalnya.
Cerita memang berfungsi untuk mengalur-alirkan gagasan moral,
mengembangkan imajinasi, dan menutup celah antara apa yang terbaik di dunia
imajinasi dan apa yang salah di dunia nyata. Oleh karenanya, fungsi phonetic,
fungsi phatic dan fungsi rhetic bahasa menjadi andalan
representatif untuk membawa anak-anak ke dunia ideal.
Phonetic, phatic dan rhetic
adalah tiga fungsi bahasa yang menjadi ciri pembeda bahasa literer, terutama
karya literer untuk anak-anak. Phonetic setara dengan “bunyi”, phatic
sejajar dengan “kata”, dan rhetic sebangun dengan “wacana”. Maka,
kalimat “Cit. Tikus. Tikus itu lari.”
adalah kalimat yang memenuhi tiga fungsi bahasa. Lewat fungsi phonetic,
anak-anak belajar meniru suara alam. Melalui fungsi phatic, anak-anak
belajar penyebutan identitas. Lewat fungsi rhetic, anak-anak mengenali
wacana tindakan.
Pada akhirnya, kita semestinya percaya pendakuan Clarissa
Pinkola, seorang psikoterapis Amerika, penulis pengantar “The Hero With A
Thousand Faces” karya Joseph Campbell, dipublikasi tahun 2004. Ia bilang,
“jika hati dan keberanian adalah otot penggerak spiritual yang menolong
seseorang menjadi manusia utuh, maka kisah adalah tulang kerangkanya.” Cerita adalah kisah. Mari kita menerima
kumpulan cerita “Memetik Keberanian” sebagai upaya literer “membangun tulang
kerangka” spiritualitas anak-anak korban bencana.
Makassar, 22 April 2019
Wah, Buku yang cakep.
ReplyDeleteBuku yang sangat bagus isinya.
ReplyDeleteDan layak dipublikasikan secara besar agar masyarakat mengenal betul hak anak.
Mas Himawan blog sampean kok gak bisa diakses ya... Sudah 2x mental aku..
DeleteWah, kereeeen. Inspiratif.
ReplyDeletejaman skrg, anak2 udh mulai jauh dr yg namanya buku, semenjak gadget betebaran dimana2, mereka lbh suka main game. miris
ReplyDeletebuku keren nich, bisa jadi bahan masukan untuk anak-anak masa kini
ReplyDeleteBagus bukunya mas ,peran orang tua juga harus ekstra supaya anak-anak bisa terbentuk karakternya agar selalu penting membaca menurut saya mas,saya sendiri merasakan penyesalan karena menyepelekan untuk membaca :(
ReplyDeletebuku buku seperti ini harus tetap di promosikan jangan sampai tenggelam oleh hiruk pikuknya dunia digital. Jujur saja waktu di luar sana saya mendapati kenyataan bahwa anak anak mereka membaca melalui tablet amazon
ReplyDeletewah menarik sekali tampaknya buku ini...sahabat saya jg dari Palu dan mengalami jd korban gempa Palu..buku buku spt ini harus dan perlu dibaca lebih banyak oleh anak anak Indonesia,terutama bgm menarik hikmah dari pelajaran dari anak anak korban gempa
ReplyDeleteMemang penting banget sih informasi informasi kecil seperti ini disampaikan kepada anak, agar bisa paham dan meengerti aja mengenai situasi yang ada.. Jadi kalau semisal terjadi kan bisa diminimalisir resiko yang ada
ReplyDeletemaaf OOT, mb kok saya gak bisa akses blog https://www.mugniar.com/ ya
ReplyDeleteeh udah bisa ding.. ternyata setingan anti virusnya. Aneh jg.
DeleteMaaf oot lagi
bagus sekali, sangat bermanfaat
ReplyDeletekunjungi kami disini Pengiriman Via Cargo
Sangat bermanfaat banget
ReplyDeletememang harusnya ada pelajaran tanggap darurat kalau ada bencana, karena selama ini kita tidak dipersiapkan untuk itu
ReplyDeleteKalau di Indonesia mash banyak yg ambil lebh banyak dripada kebutuhan di detik itu. Sebab mereka mungkin berpikir takut besok gak dpt lagi jadi ambil banyak buat stok. Sayangnya hal ini bikin yg laen gak kebagian dn kelaperan, kedinginan, dll. Krna bantuan kdang dateng gak banyak/mencukupi sluruhnya dlm skali hantar.
ReplyDeleteDi luar negeri ada latihan, tp dsni kayaknya blm yak kwkw atau aku yg gak prnah tau. Pdhal penting banget pelajran tentang tanggap darurat gtu supaya bsa menyelamatkan diri