Monday, July 2, 2018

Catatan dari Diskusi Buku Memperkuat Perempuan untuk Keadilan dan Kesetaraan

Buka puasa bersama terakhir yang saya hadiri pada Ramadhan tahun ini adalah buka puasa yang dirangkaikan dengan diskusi buku yang dihasilkan dari Program MAMPU BaKTI berjudul “Memperkuat Perempuan untuk Keadilan dan Kesetaraan”. Acara ini berlangsung pada tanggal 5 Juni di Gedung BaKTI, Jl.A.Mappanyukki No. 32 Makassar.

Ada dua narasumber di diskusi buku ini, yaitu Kak Lusia Palulungan (Program Manager MAMPU BaKTI) dan Bu Endang Sari, SIP., M.Si (Dosen FISIP Unhas). Kedua nara sumber dipandu oleh moderator favorit saya, Kak Luna Vidya Matulessy.


Sebelum masuk kepada diskusi buku, mari lihat dulu hubungan antara BaKTI, Program MAMPU, dan buku yang didiskusikan (saya kutip dari term of reference kegiatan ini):
Yayasan BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) adalah salah satu mitra Program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan yang merupakan kemitraan Australia – Indonesia untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan). Pada fase kedua (2017-2020) program ini, Yayasan BaKTI berfokus pada “Meningkatkan Akses kepada layanan dan Program Dasar Pemerintah untuk Perempuan Miskin di Wilayah Program”.
Pada fase pertama (2013-2016), Yayasan BaKTI fokus pada mendorong perubahan kebijakan yang pro poor dan responsif gender. Program ini berbasis riset dan semua kegiatan dalam program dikembangkan berdasarkan rekomendasi riset. Harapannya, program ini dapat berkontribusi pada perubahan yang signifikan untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Sebagai sebuah lembaga yang fokus pada pertukaran pengetahuan, maka Yayasan BaKTI juga kemudian mendokumentasikan pencapaian dan pembelajaran dari program yang dilaksanakan. Salah satunya adalah dalam bentuk buku yaitu Memperkuat Perempuan untuk Keadilan dan Kesetaraan. Buku ini berisikan informasi mengenai perjalanan program dan tema-tema program. Buku ini mendokumentasikan sejumlah masalah yang melingkupi perempuan, yang merupakan tema yang diintervensi oleh Program MAMPU.

Karena bidang MAMPU di antaranya menyangkut peningkatan kapasitas anggota parlemen perempuan (APP) maka tema perempuan dan politik sangat mewarnai buku Memperkuat Perempuan untuk Keadilan dan Kesetaraan dan juga diskusi ini.

Mengapa Perempuan dan Politik


Membuka diskusi, Bu Endang menyatakan, “Perda yang ada, alokasi dana APBD/APBN yang ada lebih berwajah laki-laki. Tidak melihat kepentingan mendasar bagi perempuan. Misalnya dalam catatan pengantar buku Politik dan Harapan yang ditulis oleh Ani Sutjpto dibilang bahwa lebih banyak dana APBN yang dikeluarkan untuk perbaikan mobil dinas bupati ketimbang pengadaan susu bagi ibu hamil, pengadaan alat-alat melahirkan yang layak bagi perempuan. Ketika kebijakan diserahkan kepada laki-laki maka kebijakan berwajah laki-laki karena tidak langsung menyentuh sisi yang dibutuhkan oleh perempuan.”


Jangan mengatakan bahwa kebijakan punya jenis kelamin, ya. Tentu saja maksudnya hasil dari perumusan kebijakan kebanyakan bersifat maskulin. Hanya perempuanlah yang bisa membuatnya lebih “bersifat feminin” atau memperhitungkan kepentingan perempuan. “Untuk memperjuangkan kebutuhan dasar perempuan harus masuk ke dalam jalur politik,” pungkas Bu Endang.

Di parlemen, perempuan perlu berjuang untuk menyuarakan pendapatnya. Bukan hanya karena suaranya jauh lebih sedikit makanya lebih sulit. Namun juga karena harus menghadapi pola pikir laki-laki yang tak berperspektif gender. Kalau anggota parlemen laki-laki (APL) punya perspektif gender maka lebih mudah mendorong terciptanya kebijakan yang pro perempuan. Jadi sebuah pekerjaan rumah juga untuk menyosialisasikan perspektif gender ini kepada APL. Jelaslah, perempuan harus saling mendukung dalam hal ini. Nah, buku ini bercerita bahwa perempuan punya kekuatan kalau saling mendukung.

Satu kenyataan yang tak terbantahkan adalah bahwa perempuan yang bisa menjadi anggota parlemen adalah mereka yang terkenal, punya jejaring kekuasaan, atau yang memiliki uang banyak. Kalau saat menjabat sebagai anggota parlemen mereka punya perspektif gender yang baik bisalah diandalkan namun kalau tidak? Yah, penonton cuma bisa gigit jari.

Namun kita tak boleh menutup mata, di balik hal tersebut ada keberhasilan kerja wakil rakyat yang bagi sebagian orang diduga sebagai hasil kerja lembaga eksekutif, yaitu dengan dibahasnya atau disahkannya Perda yang memihak rakyat.


Nah, di dalam buku ini ada cerita tentang Perda yang pro perempuan dan anak, misalnya mengenai diusahakannya Perda Perlindungan Perempuan dan Anak – sudah disahkan di kota Parepare, Perda Pendidikan Anak Usia Dini – dalam pembahasan di Kabupaten Maros, dan Perda Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak – dalam pembahasan di Kabupaten Tana Toraja (bisa dibaca di halaman 68).

“Membaca buku ini, kehadirannya (MAMPU) sudah memberi makna pada parlemen, misalnya ada Perda-Perda yang pro perempuan, seperti Perda KDRT di Bone dan Perda-Perda lain,” Bu Endang memberikan apresiasinya.

Bagaimana perempuan memposisikan dirinya sebagai sesama anggota parlemen perempuan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Tetapi bagaimana mereka juga berjuang untuk mempengaruhi laki-laki berperspektif (diistilahkan sebagai anggota parlemen champion). Patut diketahui, untuk mendorong kebijakan, tidak bisa hanya melalui 4 atau 5 APP karena harus dibahas di Pansus dulu, lalu di komisi, kemudian diplenokan.

Kak Luna, Kak Lusi, dan Bu Endang

Maka para APP harus mencari dukungan dari laki-laki lain untuk memperkuat perempuan. Jadi sebenarnya, ada peran laki-laki yang turut memperkuat peran perempuan tapi dimotori oleh perempuan.   

Peningkatan Kapasitas Konstituen


Hal penting lainnya mengenai perempuan dan politik yang dibahas di buku ini adalah mengenai peningkatan kapasitas KK (kelompok konstituen). Bagian ketiga buku ini membahas mengenai Konstituen Perempuan dan Responsif Gender. Perlu dilihat apa peran perempuan di luar parlemen yang juga merupakan kekuatan besar untuk mendukung APP dari luar parlemen.

Dalam hal ini salah satu mekanisme yang digunakan adalah reses partisipatif. Di sinilah bagaimana para APP mendekati konstituennya dan memahami persoalan-persoalan yang paling mendasar. Selanjutnya, bagaimana mengemas persoalan ini untuk dibawa kepada APL untuk dibicarakan dan dibawa bersama-sama menjadi sebuah kebijakan. “Jadi, inti buku ini adalah bagaimana perempuan sebagai individu mempunyai komitmen lalu individu-individu ini bersatu membangun sekutu yang lebih luas, baik dengan perempuan maupun laki-laki. Lalu lahirlah peran-peran untuk memperkuat perempuan untuk keadilan dan kesetaraan,” papar Kak Lusi.

Mengapa butuh peran-peran itu? Karena pada awalnya banyak anggota parlemen perempuan yang tidak memahami persoalan mendasar perempuan. Setelah diberi pemahaman dan dibawa kepada konstituennya barulah para APP ini memahaminya. Awalnya forum seperti reses konvensional lebih didominasi laki-laki dan perempuan tidak percaya diri mengemukakan masalahnya. “Kami butuh pembalut, makanan tambahan, atau Puskesmas yang lebih dekat, misalnya dalam situasi bencana alam. Karena pembalut dan hal-hal tersebut menjadi hal yang dianggap sepele oleh laki-laki yang tidak memiliki perspektif gender, Kak Lusi memaparkan lebih dalam lagi mengenai peran yang memperkuat perempuan.

Ketika hubungan APP dengan konstituen yang sama-sama perempuan baik dan mereka punya amunisi untuk sama-sama memperjuangkan kepentingan perempuan di DPRD dan punya kemampuan mempengaruhi yang lainnya dalam membangun sekutu maka lebih mudahlah perjuangan dalam membuat kebijakan yang pro perempuan. Dengan demikian, buku ini juga bercerita bahwa perempuan juga punya kekuatan ketika perempuan saling mendukung karena pada kenyataannya, persaingan antar perempuan sangatlah tajam. “Di buku ini kami mau bercerita bahwa perempuan juga bisa bersatu dan bisa sama-sama berjuang dan bisa membangun solidaritas dengan sesama perempuan dan laki-laki,” Kak Lusi menegaskan satu sisi menarik dari buku ini.

Untuk lebih jelasnya, kita bisa lihat contoh yang dipaparkan di halaman 80, mengenai Program MAMPU – BaKTI di Bone, Ambon, Mataram, dan Lombok Timur (2013 – 2014) dalam memfasilitasi pembentukan dan penguatan kelompok konstituen.

Di halaman 81 disebutkan bahwa:
Yang perlu digarisbawahi adalah konstituen perempuan relatif lebih aktif ketika terkait dengan urusan-urusan kesejahteraan sosial seperti siswa putus sekolah, kekerasan terhadap perempuan dan anak, pasien yang tidak terlayani, dan lain-lain. Perempuan tidak hanya dekat dengan permasalahan kesejahteraan sosial tetapi lebih responsif terhadap faktor tersebut, karena layanan yang buruk selalu berdampak bersar terhadap perempuan dan anak. Berbeda dengan laki-laki, walaupun selalu terlibat dalam urusan kesejahteraan sosial, laki-laki lambat memberikan respon, di samping jika mendapat layanan yang buruk maka laki-laki memperoleh dampak negatif yang sangat kecil. Laki-laki bahkan memberikan dampak buruk terhadap kesejahteraan sosial keluarganya. Menurut ekonom Faisal Basri (2014) pengeluaran terbesar kedua – yang pertama adalah beras – yang menentukan garis kemiskinan di pedesaan adalah rokok filter yang mencapai 8,64%. Artinya, buruknya tingkat kesejahteraan keluarga disumbang oleh laki-laki yang membelanjakan 8,64% pendapatannya untuk rokok.

Well, memang merupakan hak masing-masing kita untuk memilih peran dalam hal ini, terlepas dari konfrontasi yang terjadi. Menarik menyimak kata-kata penutup dari moderator – Kak Luna Vidia berikut ini:
Peran kita adalah meneruskan pendidikan untuk perempuan. Mungkin dengan cara sederhana, mulai mengajar anak perempuan kita, mulai mengajar sepupu kita untuk berpikir lebih cerdas mengenai haknya sebagai seorang perempuan tapi juga seorang pemilih. Tapi pendidikan yang saya bicarakan ini bukan hanya sekadar pendidikan politik. Ini pendidikan dalam semua hal. Supaya perempuan bisa bicara untuk dirinya sendiri. Kuota tiga puluh persen itu harus diperjuangkan. Bukan supaya ada orang-orang tertentu bisa jual Hermes atau arisan. Tapi supaya kepentingan-kepentingan kita menjadi kenyataan. Kita adalah orang-orang yang beruntung karena dibela oleh hukum dan kebijakan.

Makassar, 2 Juli 2018

Yang paling menarik bagi saya adalah bahwa, buku ini berisi kisah nyata,
bukan fiksi yang direka-reka.


2 comments:

  1. Haha...gua nggak komentar dulu, kalau gua komentar dibagian perempuan dan politik bakalan bernada keras karena gua nggak suka yang namanya nggak adil hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha gpp. Santai saja. Saya menuliskan dari kegiatan diskusi buku ini. Siapapun pasti punya pendapat pribadinya, termasuk saya. Cuma pendapat saya pribadi tidak ada dalam tulisan ini.

      Delete