Baru
pertama kali ini saya menghadiri acara Seminar dan Diskusi yang membahas buku
puisi seperti ini. Senang sekali diundang langsung oleh penulisnya, Pak Rusdin
Tompo. Apalagi saat tahu akan ada Pak Alwy Rachman – budayawan dan Bu Sri Rahmi
– politikus yang akan membedah buku puisinya, makin senanglah saya. Keduanya
merupakan budayawan dan perempuan politikus favorit saya.
Drs. H. Abd. Rahman, MM – Kadis Perpustakaan & Kearsipan Sul Sel (di podium) |
Lagi-lagi saya datang agak terlambat di Hotel Smile Aerotel pada tanggal 6 April itu. Seperti biasa, urusan rumah pagi-pagi membuat saya sulit datang ke tempat acara pagi tepat waktu. Mengurusi 3 anak yang hendak berangkat sekolah, yang mana si bungsu baru mau berangkat ke taman kanak-kanaknya di atas pukul setengah sembilan pagi dan mengurusi sarapan keseluruhan anggota rumah yang jumlahnya tak sedikit plus sederetan pekerjaan rumah lainnya, makin membuat saya sulit datang tepat waktu. Curcol 😝.
Untungnya
saat saya tiba, acara inti belum mulai. Drs. H. Abd. Rahman, MM – Kadis Perpustakaan
dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan sedang membawakan kata sambutannya. Bergegas
saya selesaikan urusan registrasi di meja panitia. Senang sekali saya, ternyata
usai menuliskan nama, seperti juga hadirin lainnya, panitia memberikan saya 5
buah buku karya penulis lokal. Kelima buku tersebut berjudul: La Galigo:
Turunnya Manusia Pertama (novel karya Idwar Anwar), Agus Arifin Nu’mang:
Politisi Santun (Bachtiar Adnan Kusuma), Selayar dan Pergerakan A. G. H.
Hayyung – Pemberontakan Terhadap Kungkungan Budaya dan Penjajahan (Firmansyah),
Islamisasi di Sinjai (Sritimuryati), dan Perjuangan Tak Berbatas: Hj. Sri
Rahmi, S. A. P., M. Adm., K. P. - #Inspirasi Bunda (Faisal Syam).
Salah satu puisi di dalam buku Mantera Cinta |
Setelah
menerima buku-buku tersebut, saya mencari tempat duduk. Masih ada satu kursi
kosong di antara ibu-ibu yang duduk di meja ke dua dari depan, di sisi kiri
ruangan. Fiyuh, syukurlah, saya masih
sempat mendengarkan sekelumit harapan dari Pak Abdul Rahman, bahwa untuk
memperbanyak karya lokal sebab karya dari Jawa tidaklah cocok dengan situasi
dan kondisi masyarakat kita. Well, seperti
yang kita ketahui, sebagian besar buku yang masuk ke Makassar kan berasal dari pulau
Jawa.
Beliau
juga berharap agar para pembaca buku bisa memperlihatkan penerapan teknisnya
sebab masyarakat desa akan lebih mudah dipengaruhi untuk membaca jika melihat
adanya manfaat membaca. Selanjutnya, tepuk tangan hadirin menyambut pembukaan
acara Seminar dan Diskusi Buku
Sehimpun Puisi Mantera Cinta Karya Rusdin Tompo.
Akan
ada pembacaan puisi. Namun sebelumnya, Rusdin Tompo – pusat acara hari ini
membagikan pengalamannya, “Sejak ditulis tiga puluh dua tahun yang lalu tidak
pernah saya bayangkan akan sampai di tempat ini,” Pak Rusdin membuka
sambutannya.
Rusdin Tompo |
Wuih, di sini saya tertegun. Pak Rusdin
Tompo yang saya kenal adalah pemerhati anak. Saya pernah mengikuti pelatihan
menulis yang diselenggarakan oleh LBH APIK, mengenai penulisan yang memberi
perhatian pada hak-hak anak dan perempuan, beliau menjadi salah satu mentornya.
Judul-judul buku yang pernah dibuat dan dieditnya sama sekali jauh dari jalur
puisi. Beberapa di antaranya: Ayo, Lawan
Korupsi; Media dan Perubahan Politik
Represif; Anak, Media, dan Politik;
dan Refleksi Kritis Seorang Bhayangkara.
Rupanya
sarjana hukum ini tidak hanya bisa menulis buku serius atau memberikan materi
yang serius, dia juga seorang penyair! Buku Mantera Cinta ini merupakan buku kumpulan puisinya yang kedua. Buku
kumpulan puisi pertamanya berjudul Tuhan
Tak Sedang Iseng (terbit tahun 2014). Rencananya pada bulan Agustus 2017
nanti akan terbit buku kumpulan puisi ketiganya yang dikemas berbeda dari buku
pertama dan kedua. Bukan hanya penyair, Pak Rusdin bahkan bisa juga menyanyi
dan melukis. Desain dasar dari sampul buku Mantera Cinta – kumpulan puisinya
juga dibuatnya sendiri.
Mengapa
bukunya berjudul Mantera Cinta, alasannya adalah karena salah satu puisi – master piece dalam buku ini berjudul
Mantera Cinta. Pak Rusdin mengatakan bahwa eksperimen-eksperimen berpuisinya termotivasi
dari buku Apresiasi Puisi Indonesia
yang pernah dibacanya.
Puisi Panggil Aku Daeng karya Rusdin Tompo
Tak menunggu
lama, segera kami menyaksikan suguhan dua puisi karya Pak Rusdin. Puisi pertama
berjudul Panggil Aku Daeng,
dibawakan dengan penuh penjiwaan oleh Maysir Yulanwar dengan iringan musikalisasi
puisi dari Pak Cucuk. Puisi kedua berjudul Perempuan
yang Menyulam Kehidupan. Pada puisi kedua yang dibacakan oleh Pak Rusdin
ini, tetap ada kolaborasi dengan Pak Cucuk dalam musikalisasi puisi dan kolaborasi
dengan Pak Zaenal Beta yang melakukan atraksi melukis menggunakan tanah liat. Saya
yang selalu merasa tak mengerti seni, merinding menyaksikan kedua kolaborasi
ini.
Sembari
menyimak, saya meninggalkan tempat duduk setelah sebelumnya memberikan penanda
berupa tas di atas kursi. Saya mendekat kepada para penampil dan merekam
jalannya pertunjukan. Jaringan XL di Hotel Smile Aerotel lancar. Saya berencana
langsung upload ke channel YouTube saya.
Puisi Perempuan yang Menyulam Kehidupan, karya Rusdin Tompo
(dibawakan oleh Rusdin Tompo)
Tapi saat kembali ke meja di mana saya meletakkan barang-barang, saya tak menemukan kursi yang saya duduki sebelumnya. Tas saya tergeletak begitu saja di atas lantai. Walah, ada yang mengambil kursi yang saya duduki! Setengah dongkol, saya menyapu pandangan kepada orang-orang di sekeliling saya dan bertanya, “Mana kursi yang di sini?”
Lukisan tanah liat karya Zaenal Beta. Satu-satunya pelukis tanah liat di Indonesia |
Haha, itu tadi intermezzo. Yang jelas saya mendapatkan kursi kembali dan bisa melanjutkan upload video ke YouTube menggunakan fasilitas dari paket Xtra Combo XL di dalam gadget milik saya yang sedang ada gratisan YouTube-nya. Videonya saya sisipkan di tulisan ini. Mohon maaf kualitasnya kurang bagus karena HP yang saya pakai merekam bukan HP bagus. Mohon do’anya supaya saya bisa secepatnya dapat rezeki HP baru yang kemampuan merekam videonya mumpuni. Please, aminkan, ya!
Makassar, 24 April 2017
Bersambung
ke tulisan berikutnya: Membedah Mantera Cinta
Oya, baca juga pengalaman saya saat berpuisi:
Oya, baca juga pengalaman saya saat berpuisi:
- 81 Tahun WS. Rendra, Mengenangnya dalam Puisi
- Maskumambang: Karya Rendra yang Masih Relevan Setelah 7 Tahun
No comments:
Post a Comment