Tuesday, December 19, 2017

Membedah Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan berjudul Prof. Dr. Anwar Arifin: Berkarya Sepanjang Masa  – catatan dari acara Launching dan Bedah Buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan karya Prof. Dr. Anwar Arifin yang berlangsung pada tanggal 6 Desember 2017.

Setelah beberapa lama berada di dalam ruangan di lantai dua Hotel Continent Centerpoint baru saya sadari banyaknya akademisi dan alumni HMI hadir dalam ruangan itu. Wah, menarik ini. Baru kali ini saya hadir di acara yang beratmosfer seperti ini.


Acara dipandu oleh Prof. Dr. dr. Alimin Maidin, MPH. Para panelis yang membedah buku adalah Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA (rektor Universitas Hasanuddin), Prof. Dr. Qasim Mathar, MA (guru besar UIN Alauddin), dan Prof. Dr. Niniek A. Lantara, SE, MS (mantan rektor Universitas Pejuang RI).



Moderator memberikan giliran pertama kepada Prof. Qasim untuk membedah buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan. Prof. Qasim membacakan sebuah kutipan dari buku karya Prof. Dr. Anwar Arifin tersebut.
Cendekiawan adalah orang yang mampu berpikir bebas dan menyatakan secara terbuka, cinta kebenaran, berkeadilan tinggi, mengadakan perbaikan masyarakat, dan mampu menanggung risiko atas tindakan yang diperbuat.

“Jadi, kalau bukan sarjana tetapi demikian, bisa disebut cendikiawan,” Prof. Qasim menyatakan point yang dimaksud dari pernyataan di atas.

Dalam bukunya, Prof. Anwar Arifin mengklasifikasikan cendikiawan pada beberapa golongan:
  • Cendekiawan matang (golongan 1 dan 2).
  • Cendekiawan setengah matang (golongan 4 dan 5).
  • Golongan 3 à cendekiawan yang berada di antara cendekiawan matang dan setengah matang.

Cendekiawan sejati adalah mereka yang berada di golongan 1: berbudaya, tegas, tidak ragu menjawab, bebas, dan berani menanggung risiko. Cendekiawan yang tidak berani menanggung risiko turun di golongan kedua. Golongan ke-4 adalah cendekiawan yang mengejar karir dan berbuat rusuh. Sedangkan yang berada pada golongan 5 adalah cendekiawan yang serakah yang dikalahkan oleh keinginan-keinginannya, suka menginjak yang berada di bawah dan menjilat yang berada di atasnya.

Mengenai pemuda dan mahasiswa, Prof. Anwar menuliskan mengenai “kemandegan dan kedangkalan intelektual”. Juga ada tentang media yang memanipulasi selera rendah manusia.

Sayang sekali, saya tidak memiliki bukunya, jadi tidak bisa mencocokkan dengan bukunya. Tapi sudah senang rasanya diundang ke acara ini.

Prof. Niniek Lantara lebih banyak membahas tentang kiprah Prof. Anwar di KAHMI (organisasi alumni HMI) dan Universitas Veteran Indonesia (yang sekarang berubah namanya menjadi Universitas Pejuang RI). Dan menurutnya, buku ini relevan penerbitannya untuk saat ini.


Prof. Dwia banyak mengupas dan mengkritisi buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan. Menyaksikannya sebagai panelis, saya yakin kalau rektor Unhas ini benar-benar menelaah banyak halaman dari buku yang dibedahnya.

Menurutnya, buku ini merupakan sketsa historis kehidupan berbangsa. Semua aspek ada di sini, dikupas all in one. Membaca buku ini membuatnya merindukan masa lalu. Seperti ada yang hilang jika flash back ke masa ketika  Pancasila didoktrin dan begitu diformalkan. Buku ini mengingatkan kita akan masa lalu.

Menyebutkan “gaya bahasa amburadul”, Prof. Dwia memuji gaya menulis Prof. Anwar yang juga disebutnya bergaya fenomenologi. “Hanya cendekiawan level atas yang bisa begini,” ungkapnya. “Menarik, cuma kita tidak bisa pegang kesimpulannya. Apakah Prof. Anwar menulis sebagai politisi, organisatoris, atau ulama? Tapi beliau bisa menggabungkan semuanya dengan baik. Kalaupun tulisan berperspektif tidak konsisten – itu bagian dari kekayaannya,” tambah ibu profesor lagi.

Selanjutnya, Prof. Dwia mengulas bahwa buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan menggabungkan tataran filosofis dan empirik. Kekayaan fenomenologinya dilempar kepada pembaca. Keindonesiaannya jauh dari paham berat dan individualistik. Pahamnya mementingkan persatuan.

Buku ini mewajahkan politik orde baru sebagai “kekuasaan yang mencari orang”. Berbeda dengan sekarang, di mana orang yang mencari kekuasaan. Menariknya isi buku ini bisa saja dipahami berbeda-beda oleh yang membacanya. Prof. Dwia menyatakan kesukaannya akan buku yang dinilainya “segar” ini namun jangan sampai kita seolah-olah ingin kembali ke masa lampau.

Prof. Dwia tak hanya memuji, dia juga mengkritik atas kritik Prof. Anwar terhadap peran perempuan dan sosiologi di Indonesia. Namun bisa dimaklumi karena Prof. Anwar menuliskan tentang kritiknya bertahun lampau. Tentang peran sosiologi, ditulisnya pada tahun 1995 – yang menurut Prof. Dwia, justru pada tahun tersebut kesosialan Indonesia jadi trend bagi penyaluran dana ke Indonesia. Selain itu, Prof. Dwia mengkritik, mengenai tidak dilihatnya di dalam buku – keberpihakan Prof. Anwar kepada kaum marjinal. Tentang perempuan – Prof. Dwia menilai Prof. Anwar terlalu subyektif dan sangat stereo type. Namun, sekali lagi bisa dipahami karena tulisan tentang perempuan yang dimaksud ditulis pada tahun 1981.

“Prof. Anwar boleh pensiun tapi jangan pensiun menulis. Kami butuh role model, pungkas perempuan pertama yang menjadi rektor Unhas ini,

Di akhir acara, Prof. Anwar kembali berbicara, menyampaikan apresiasinya kepada semua panelis dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Saya mencatat beberapa hal yang disampaikannya.
“Selama masyarakat belum cerah, profesor belum selesai tugasnya,” tukasnya.

Prof. Anwar menyatakan dirinya siap diundang menjadi nara sumber, bahkan ke masjid sekali pun – tanpa mengharapkan imbalan. Adalah sebuah kehormatan sebagai profesor dengan meletakkan tangannya di atas – dengan memberi pengetahuannya, bukannya meletakkan tangannya di bawah.


Dalam kesempatan itu, Prof. Anwar “meminta maaf” kepada para profesor yang hadir sehubungan dengan aturan yang mewajibkan profesor menulis pada UU nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (pasal 49 butir 2 yang menjelaskan bahwa profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku,  menghasilkan karya ilmiah, dan memperluaskan gagasan untuk mencerahkan masyarakat). Ide tentang menulis itu merupakan ide dari Prof. Anwar. Mantap pak prof, saya suka ide ini. Kalau tidak demikian, bagaimana gagasan para profesor bisa sampai kepada masyarakat?

Buku apa saja bisa ditulis, tidak dibatasi. “Satu buku bisa tembus jutaan kepala,” ungkap Prof. Anwar. Semoga suatu saat nanti, buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan ini bisa juga menembus kepala saya 😏.

Menurut Prof. Anwar, buku seyogianya dapat menjadi alat merevolusi mental, yaitu untuk “mengubah mental terjajah menjadi mental merdeka”. Satu kritik pak profesor kepada perguruan tinggi adalah mengganti buku acuan dengan yang khas Indonesia. “Kepala di barat, kaki di Indonesia – tidak cocok,” pungkasnya.

Satu lagi, mengenai politik zaman sekarang yang disebutnya sebagai “politik populis”. Zaman sekarang, mau pemimpinnya bodoh atau pintar, orang tak peduli yang penting banyak yang dukung. Berbeda dengan zaman dulu.

Senang sekali saya bisa hadir di acara Launching dan Bedah Buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan ini. Semoga Allah senantiasa melindungi dan menyehatkan pak profesor supaya bisa terus berkarya melalui tulisan. Andai ada versi buku digitalnya buku ini, saya berharap bisa mendapatkannya. Terkhusus kepada Pak Syahruddin dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah mengundang saya hadir di acara ini.


No comments:

Post a Comment