Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan berjudul Prof. Dr. Anwar Arifin: Berkarya Sepanjang Masa – catatan dari acara Launching dan Bedah Buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan karya Prof. Dr. Anwar Arifin yang berlangsung pada tanggal 6 Desember 2017.
Setelah
beberapa lama berada di dalam ruangan di lantai dua Hotel Continent Centerpoint
baru saya sadari banyaknya akademisi dan alumni HMI hadir dalam ruangan itu. Wah, menarik ini. Baru kali ini saya hadir di acara yang beratmosfer seperti ini.
Acara dipandu oleh Prof. Dr. dr. Alimin Maidin, MPH. Para panelis yang membedah buku adalah Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA (rektor Universitas Hasanuddin), Prof. Dr. Qasim Mathar, MA (guru besar UIN Alauddin), dan Prof. Dr. Niniek A. Lantara, SE, MS (mantan rektor Universitas Pejuang RI).
Acara dipandu oleh Prof. Dr. dr. Alimin Maidin, MPH. Para panelis yang membedah buku adalah Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA (rektor Universitas Hasanuddin), Prof. Dr. Qasim Mathar, MA (guru besar UIN Alauddin), dan Prof. Dr. Niniek A. Lantara, SE, MS (mantan rektor Universitas Pejuang RI).
Moderator
memberikan giliran pertama kepada Prof.
Qasim untuk membedah buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan. Prof. Qasim membacakan
sebuah kutipan dari buku karya Prof. Dr. Anwar Arifin tersebut.
Cendekiawan adalah orang yang mampu berpikir bebas dan menyatakan secara terbuka, cinta kebenaran, berkeadilan tinggi, mengadakan perbaikan masyarakat, dan mampu menanggung risiko atas tindakan yang diperbuat.
“Jadi,
kalau bukan sarjana tetapi demikian, bisa disebut cendikiawan,” Prof. Qasim
menyatakan point yang dimaksud dari
pernyataan di atas.
Dalam
bukunya, Prof. Anwar Arifin mengklasifikasikan cendikiawan pada beberapa golongan:
- Cendekiawan matang (golongan 1 dan 2).
- Cendekiawan setengah matang (golongan 4 dan 5).
- Golongan 3 à cendekiawan yang berada di antara cendekiawan matang dan setengah matang.
Cendekiawan
sejati adalah mereka yang berada di golongan 1: berbudaya, tegas, tidak ragu
menjawab, bebas, dan berani menanggung risiko. Cendekiawan yang tidak berani
menanggung risiko turun di golongan kedua. Golongan ke-4 adalah cendekiawan
yang mengejar karir dan berbuat rusuh. Sedangkan yang berada pada golongan 5
adalah cendekiawan yang serakah yang dikalahkan oleh keinginan-keinginannya,
suka menginjak yang berada di bawah dan menjilat yang berada di atasnya.
Mengenai
pemuda dan mahasiswa, Prof. Anwar menuliskan mengenai “kemandegan dan
kedangkalan intelektual”. Juga ada tentang media yang memanipulasi selera
rendah manusia.
Sayang sekali, saya tidak memiliki
bukunya, jadi tidak bisa mencocokkan dengan bukunya. Tapi sudah senang rasanya
diundang ke acara ini.
Prof. Niniek Lantara lebih banyak membahas tentang kiprah
Prof. Anwar di KAHMI (organisasi alumni HMI) dan Universitas Veteran Indonesia
(yang sekarang berubah namanya menjadi Universitas Pejuang RI). Dan menurutnya,
buku ini relevan penerbitannya untuk saat ini.
Prof. Dwia banyak mengupas dan mengkritisi buku
Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan. Menyaksikannya sebagai panelis, saya yakin
kalau rektor Unhas ini benar-benar menelaah banyak halaman dari buku yang
dibedahnya.
Menurutnya,
buku ini merupakan sketsa historis
kehidupan berbangsa. Semua aspek ada di sini, dikupas all in one. Membaca buku ini membuatnya merindukan masa lalu. Seperti
ada yang hilang jika flash back ke
masa ketika Pancasila didoktrin dan
begitu diformalkan. Buku ini mengingatkan kita akan masa lalu.
Menyebutkan
“gaya bahasa amburadul”, Prof. Dwia memuji gaya menulis Prof. Anwar yang juga
disebutnya bergaya fenomenologi. “Hanya
cendekiawan level atas yang bisa
begini,” ungkapnya. “Menarik, cuma kita tidak bisa pegang kesimpulannya. Apakah
Prof. Anwar menulis sebagai politisi, organisatoris, atau ulama? Tapi beliau
bisa menggabungkan semuanya dengan baik. Kalaupun tulisan berperspektif tidak
konsisten – itu bagian dari kekayaannya,” tambah ibu profesor lagi.
Selanjutnya,
Prof. Dwia mengulas bahwa buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan menggabungkan
tataran filosofis dan empirik. Kekayaan fenomenologinya dilempar kepada
pembaca. Keindonesiaannya jauh dari paham berat dan individualistik. Pahamnya
mementingkan persatuan.
Buku
ini mewajahkan politik orde baru sebagai “kekuasaan yang mencari orang”.
Berbeda dengan sekarang, di mana orang yang mencari kekuasaan. Menariknya isi
buku ini bisa saja dipahami berbeda-beda oleh yang membacanya. Prof. Dwia
menyatakan kesukaannya akan buku yang dinilainya “segar” ini namun jangan
sampai kita seolah-olah ingin kembali ke masa lampau.
Prof.
Dwia tak hanya memuji, dia juga mengkritik atas kritik Prof. Anwar terhadap
peran perempuan dan sosiologi di Indonesia. Namun bisa dimaklumi karena Prof.
Anwar menuliskan tentang kritiknya bertahun lampau. Tentang peran sosiologi,
ditulisnya pada tahun 1995 – yang menurut Prof. Dwia, justru pada tahun tersebut
kesosialan Indonesia jadi trend bagi penyaluran
dana ke Indonesia. Selain itu, Prof. Dwia mengkritik, mengenai tidak dilihatnya
di dalam buku – keberpihakan Prof. Anwar kepada kaum marjinal. Tentang
perempuan – Prof. Dwia menilai Prof. Anwar terlalu subyektif dan sangat stereo type. Namun, sekali lagi bisa
dipahami karena tulisan tentang perempuan yang dimaksud ditulis pada tahun
1981.
“Prof.
Anwar boleh pensiun tapi jangan pensiun menulis. Kami butuh role model,” pungkas perempuan pertama yang
menjadi rektor Unhas ini,
Di
akhir acara, Prof. Anwar kembali berbicara, menyampaikan apresiasinya kepada
semua panelis dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Saya
mencatat beberapa hal yang disampaikannya.
“Selama masyarakat belum cerah, profesor belum selesai tugasnya,” tukasnya.
Prof.
Anwar menyatakan dirinya siap diundang menjadi nara sumber, bahkan ke masjid
sekali pun – tanpa mengharapkan imbalan. Adalah sebuah kehormatan sebagai
profesor dengan meletakkan tangannya di atas – dengan memberi pengetahuannya,
bukannya meletakkan tangannya di bawah.
Dalam
kesempatan itu, Prof. Anwar “meminta maaf” kepada para profesor yang hadir
sehubungan dengan aturan yang mewajibkan profesor menulis pada UU nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (pasal 49 butir 2 yang menjelaskan bahwa profesor
memiliki kewajiban khusus menulis buku, menghasilkan
karya ilmiah, dan memperluaskan gagasan untuk mencerahkan masyarakat). Ide
tentang menulis itu merupakan ide dari Prof. Anwar. Mantap pak prof, saya suka ide ini. Kalau tidak demikian, bagaimana
gagasan para profesor bisa sampai kepada masyarakat?
Buku
apa saja bisa ditulis, tidak dibatasi. “Satu buku bisa tembus jutaan kepala,”
ungkap Prof. Anwar. Semoga suatu saat
nanti, buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan ini bisa juga menembus kepala
saya 😏.
Menurut
Prof. Anwar, buku seyogianya dapat menjadi alat merevolusi mental, yaitu untuk “mengubah mental terjajah menjadi mental merdeka”. Satu kritik pak
profesor kepada perguruan tinggi adalah mengganti buku acuan dengan yang khas Indonesia. “Kepala di barat, kaki di Indonesia – tidak cocok,”
pungkasnya.
Satu
lagi, mengenai politik zaman sekarang yang disebutnya sebagai “politik populis”.
Zaman sekarang, mau pemimpinnya bodoh atau pintar, orang tak peduli yang
penting banyak yang dukung. Berbeda dengan zaman dulu.
Senang
sekali saya bisa hadir di acara Launching dan Bedah Buku Pergulatan Pemikiran Keindonesiaan ini. Semoga Allah senantiasa melindungi dan
menyehatkan pak profesor supaya bisa terus berkarya melalui tulisan. Andai ada
versi buku digitalnya buku ini, saya berharap bisa mendapatkannya. Terkhusus
kepada Pak Syahruddin dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi
Selatan, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah mengundang
saya hadir di acara ini.
Makassar, 20 Desember 2017
Baca juga tulisan sebelumnya, yaa:
Baca juga yang ini:
- Ketika Peneliti dan Pemerintah Tampil Beda untuk Melakukan Perubahan
- Pak Profesor Itu Guru Siswa SMP
- Kenangan Tentang Prof. Dikwan Eisenring
- Mengapa Guru Perlu Menulis dan Ngeblog
- Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia ke-9: Transformasi Perpustakaan Digital di Era Digital Native
- Pentingnya Orang Tua dan Pendidikan Tinggi Berkolaborasi dalam Membentuk Karakter Positif Anak
- Kolaborasi Puisi, Musikalisasi Puisi, dan Lukisan Tanah Liat
- Membedah Mantera Cinta
- Diskusi Buku: Mengelola Hutan yang Tersisa
No comments:
Post a Comment