“Tidak semua orang punya pemahaman yang sama
mengenai apa itu perubahan, apa ancamannya. Mungkin siang ini adalah salah satu
cara utk punya pemahaman yang sama apa yang sedang terjadi di hutan-hutan di
negeri ini,” Kak Luna Vidya memulai acara dengan mengatakan ini. Lalu mengajak
para peserta untuk menyimak Diskusi
Buku Mengelola Hutan yang Tersisa agar bisa membawa pulang hal berharga dari tempat
berlangsungnya diskusi ini.
Diskusi
buku ini berlangsung BaKTI (Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia) pada
tanggal 22 Maret lalu. Menghadirkan
penulis buku Managing
Indonesia’s Remaining Forests (Mengelola Hutan Indonesia yang Tersisa), Pak Edi Purwanto. Lelaki kelahiran Kediri tahun
1962 ini pernah menjadi Program Manager dari Wildlife Consevation Society
Indonesia Program (WCS-IP) dan Direktur Operatin Wallacea Trust (OWT). Kini Pak
Edi menjadi Program Director di Tropenbos International Indonesia.
Bergerak
dalam bidang yang ditekuninya, Pak Edi terbiasa melakukan hal-hal memberdayakan
masyarakat untuk konservasi alam dan membuat pengetahuan bermanfaat untuk hutan
dan masyarakat. Salah satunya adalah dengan menyebarkan ilmu pengetahuan, yaitu
menyebarkannya melalui tulisan. Salah
satu bentuknya adalah buku dwi bahasa yang saya dapatkan di acara ini, yang
merupakan kumpulan opini Pak Edi di surat kabar The Jakarta Post pada kurun
waktu tahun 2004 – 2016.
Alasan
mengapa buku Managing Indonesia’s Remaining Forests tidak tebal, menurut Pak Edi
adalah karena kalau tebal, buku tidak dibaca orang. Untuk menyebarkan jurnal
juga tidak mudah dibaca. Menulis opini adalah salah satu upaya murah dan mudah.
Penulis
5 buku lain yang bertema lingkungan hidup ini dulu pernah juga menulis di
BaKTI. Menurutnya, mengapa topik tentang “hutan yang tersisa” ini diambilnya,
adalah karena hutan yang semakin rusak dan susut. Kerusakan hutan ini
menyebabkan rimbawan semakin pesismis sampai-sampai bertepatan saat diskusi
buku ini di Jakarta diselenggarakan sarasehan mengenai “masihkah rimbawan (ahli
kehutanan/pencinta hutan – Wikipedia) penting?”. Padahal sementara itu kita
tahu ada 63 fakultas Kehutanan di Indonesia, dengan 18 ribu lulusannya setiap
tahun. Bagaimana dengan hutan yang semakin rusak? Apa peran kita ke depan?
Pak
Edi melanjutkan pemaparannya dengan mempresentasikan sejumlah slide yang menjelaskan isi bukunya yang
terdiri atas 6 bagian:
- Strategi Perlindungan Bentang Alam Berhutan Indonesia Sebagai Sistem Pendukung Kehidupan.
- Strategi Penguatan Desa Melindungi Bentang Alam Hutan.
- Strategi Pengarusutamaan Perhutanan Sosial.
- Strategi Pemberdayaan Masyarakat untuk Melindungi Bentang Alam Berhutan yang Tersisa.
- Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi.
- Peran CSOs untuk Melindungi Bentang Alam Berhutan yang Tersisa.
Hutan Sebagai Pendukung Kehidupan
Bentang alam/landscape seperti hutan, tegalan, sawit, dan sebagainya saling berinteraksi. Hutan sebagai suatu landscape penting karena tanah air kita berada di daerah tropis. Cirinya adalah intenstas hujannya tinggi. Intensitas hujan tinggi ini menimbulkan banyak kerusakan. Kita melihat banyak banya banjir karena kerusakan. Penyebabnya karena intensitas hujannya terlalu tinggi. Sekarang ini, hujan dalam satu bulan turun dalam satu hari. Pada intensitas huan rendah – sedang, hutan mengendalikan debit sungai. Tapi kalau tinggi melebihi daya dukung hutan. Sementara itu resistensi tanah di Indonesia kurang stabil. Pertanyaan selanjutnya adalah “mampukah restorasi hutan mengembalikan fungsi hutan sebagai sistem pendukung kehutanan?”
Tawarannya
adalah dengan memperkuat identifikasi, penetapan, pengelolaan, dan perlindungan
High Conservation Values (HCV). HCV – wilayah berkonservasi tinggi. Sebuah wilayah
harus alokasi HCV. HCV juga merupakan komitmen perusahaan mengelola lingkungan
sesuai prinsip-prinsip lingkungan. Pada kenyataannya, hal ini tidak benar-benar
dilakukan sepenuhnya. Katakanlah hanya menjalankan persyaratan. Karena inisiasi
ini sejak 10 tahun yang lalu belum terlihat dampak yang baik karena tidak
terkonektivitas satu sama lain. Itu makanya luasan-luasan kecil tidak memperbaiki
keanekaragaman hayati apalagi memperbaiki konservasi lingkungan.
Pada
contoh kasus lahan sawit, seperti yang kita ketahui praktik konversi hutan alam
untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit sering menjadi penyebab utama bencana
alam seperti banjir dan tanah longsor. Butuh waktu 10 – 20 tahun untuk
memperbaikinya. Padahal restorasi seharusnya memperhatikan keanekaragaman genetik yang ditanam. Mutu fisiknya
juga memperhatikan keanekaragaman itu. Banyak yang melakukannya asal-asalan
saja, tidak mengambil dari keanekaragaman genetik yang tinggi. Jika
keanekaragaman genetik rendah, akan berdampaknya pada kerentanan lahan terhadap
hama dan penyakit. Bagaimana nanti performanya 5 – 10 tahun ke depan?
Dengan
semakin menipisnya hutan, harus juga menyisakan hutan yang ada sebegai sumber
benih. Misalnya ada eboni di Sulawesi, di Kalimantan ada eboni. Dan
spesies-spesies lainnya: ulin, meranti merah, merbau, eboni, dan uru. Kalau
hutan habis, dari mana benih diperoleh? Lalu, walau benih ada tapi keragaman
genetik terbatas, bagaimana ke depannya? Maka diperlukan perlindungan
pohon-pohon induk dan pembangunan sumber-sumber benih khususnya untuk
spesies asli, yang saya tuliskan di awal paragraf ini. Perlu kita menginventarisasi
pohon-pohon induk untuk sumber benih ke depan. Restorasi landscape hutan perlu memperhatikan keragaman genetik dan mutu
benih agar mampu bertahan terhadap perubahan iklim, serangan hama dan penyakit,
dan sebagainya.
“Perlu
pula diwujudkan desentralisasi sumber
benih: Pemerintah kabupaten/kota seharusnya membangun sumber benih spesies asli daerahnya dan melindungi Intact
Forest Landscape (IFL) sebagai sumber benih,” usulan berikut dari Pak Edi.
Selanjutnya,
diharapkan pemerintah berperan dalam mendorong Skema Imbal Jasa Lingkungan
(PES) dari voluntary ke
transaksi wajib melalui retribusi jasa lingkungan, seperti: penggunaan air bersih, mineral, pengunjung
taman wisata, cafe, restaurant, tamu hotel-hotel berbintang, dan sebagainya. Bagaimana
misalnya hulu yang menghasilkan air, seharusnya hilir membayar ke hulu. Di Indonesia
hal ini tidak bisa berjalan baik karena wilayah hulu dan hilir berada di
kabupaten berbeda. Nah, seharusnyalah pemerintah memfasilitasi hal ini.
Misalnya dengan menarik retribusi jasa lingkungan.
Mengapa Ekosistem Hutan Penting Sebagai
Sistem Pendukung Kehidupan?
Jawabannya
adalah: karena ekosistem hutan berfungsi sebagai pendukung kehidupan dari segi
hidrologinya (pengatur tata air). Kerusakan hutan di Indonesia terjadi karena
kurangnya pemahaman fungsi hutan atau seberapa nilai ekonomi dari hutan. Padahal,
kalau menghitung nilainya sulit, kita bisa lihat dari dampaknya. Kerugian pada
tahun 1997 akibat kebakaran hutan misalnya, nilainya sebesar 2 x kerugian tsunami
di Aceh pada tahun 2004 (8 miliar dollar AS dibandingkan dengan 4,5 miliar
dollar AS). Lalu kebakaran hutan pada tahun 2015 mengemisikan karbon lebih dari
1 miliar ton. Jumlah ini melebihi emisi bahan bakar fosil gabungan Jerman dan Belanda pada tahun 2013 (WRI). Untuk
masalah ini, Pak Edi menawarkan sejumlah usulan.
Penguatan Desa Pelindung Hutan
Mustahil
rasanya kalau tidak ada penguatan di tingkat desa. Desa adalah pemerintah
otonom yang terkecil maka harus diperkuat. Dari 74.000 desa di Indonesia, ada
3.000 desa berada di pinggir hutan atau dalam kawasan hutan. Disayangkan, semua
wilayah konservasi memiliki tantangan berbeda-beda (khas) tetapi diatur dengan
cara yang sama oleh pemerintah pusat.
Desa
memiliki hak dan tanggung jawab untuk mengelola hutan. Antara desa dan
masyarakat tidak terpisah, jadi satu kesatuan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat dan SDA. Penguatan desa menjadi benteng terakhir pelestarian hutan di
Indonesia. Dalam hal ini, Pak Edi memberi ide-idenya di dalam bukunya.
Tak
lengkap rasanya jika tak diungkapkan studi kasus pendampingan desa yang pernah
dialami Pak Edi. Dalam kesempatan ini, Pak Edi mengemukakan beberapa studi
kasus yang difasilitasi TBI Indonesia dan OTW. Yaitu: 1) Green Livelihoods
Alliance (GLA) di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. 2)
MCA-Indonesia di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. 3) Tropical Forestry
Conservation Act, di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Langkah-langkah dalam
menghadapi berbagai masalah di tiga wilayah tersebut diungkapkannya di dalam
buku Managing Indonesia’s Remaining Forests. Salah satu hal yang diupayakan
adalah agar masyarakat desa mau dan mampu mengelola hutan.
Terkait
Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan
Pada
bagian 4 buku ini, Pak Edi mendeskripsikan 10 permasalahan umum proyek
pemberdayaan masyarakat beserta rincian pendekatannya. Contohnya adalah partisipasi
semu masyarakat penerima manfaat yang didorong oleh kepentingan jangka pendek
(materi/uang). Untuk masalah ini, pendekatan
yang diusulkannya di antaranya adalah tidak menggunakan uang sebagai penarik
partisipasi, melainkan bantuan teknis dan pendampingan intensif kpd
masyarakat yang membutuhkan dan menggunakan tokoh masyarakat tempatan
(key-village champion) sebagai pendorong penggerakan partisipasi masyarakat.
“Hutan
yang tersisa saat ini karena sulit dijangkau. Hal tersebut karena kondisi
alamnya atau karena nilai ekonomisnya tidak dianggap,” ujar Pak Edi. Presiden harus
menetapkan luas wilayah hutan yang harus diselamatkan di tiap wilayah karena hutan
selalu kalah dengan kepentingan non kehutanan padahal pengaruhnya besar bagi
kehidupan kita. Dulu sudah ada pemahaman dengan keanekaragaman hayati.
Kenyataannya semuanya bersifat proyek. Setelah proyek berakhir, bubar lagi. Hal-hal
seperti penghamburan anggaran harus direformasi. Lebih efektif bila nilai
kearifan lokal dikedepankan. Tidak dipungkiri, globalisasi telah mengaburkan banyak
nilai lokal. Bagusnya, yang tidak tersentuh globalisasi masih ada yang menjaga
kearifan lokalnya.
Menjawab
sebuah pertanyaan mengenai tantangan penyuluh kehutanan. Pak Edi mengatakan
bahwa tugas penyuluh adalah membuat bagaimana masyarakat berdaya, bukannya
memberikan penyadaran. Bagamana merumuskan langkah-langkah ke depan agar masyarakat
lebih berdaya, itu yang penting.
Kenyataannya
di Indonesia, sangat miskin orang lapangannya. Lulusan sekolah menengah
kehutanan ingin jadi sarjana lalu bekerja di kantor. Kalau ada pendidikan di
masyarakat, apakah itu pendidikan agama, lingkungan, dan sebagainya, itu bagus
sekali. Pendidikan agama masih kurang dalam mengedukasi masyarakat akan
lingkungan. Kalau jadi media dakwah, bagus sekali.
Diskusi
berakhir sekira pukul 6 sore. Sudah hampir maghrib. Bincang-bincang ringan
dilanjutkan sembari menikmati sajian kopi/teh dan kue-kue yang disediakan oleh
BaKTI, diselingi foto bersama. Saya pulang dengan sederet kesan dan pesan.
Bukan hanya terkesan dengan penampilan Pak Edi yang humble dan ramah. Saya juga terkesan dengan presentasinya yang
begitu terstruktur. Sungguh buku ini (dan presentasi beliau) merupakan solusi
bagi semua pihak yang berperan dalam pelestarian hutan. Semoga Pak Edi berkenan
membuat E-Book supaya lebih banyak lagi yang bisa mendapatkan pesan-pesan
kebaikan tentang menjaga hutan.
Selain
itu, seperti biasa, saya terkesan dengan sajian kudapan dari BaKTI yang selalu
enak-enak. Namun selain itu semua, makin kuat kepercayaan saya bahwa hutan
Indonesia memang masih membutuhkan upaya yang luar biasa besar dalam
merestorasinya.
Lalu,
usai mendengar sentilan Kak Luna mengenai bagaimana membawa pesan dari dalam
ruangan itu ke luar ... dengan ini saya menarik napas lega. Saya sudah mengambil
peran yang bisa saya lakukan, yaitu menuliskannya kembali di blog ini. Semoga bermanfaat.
Makassar, 2 April 2017
No comments:
Post a Comment